Menurut Notonagoro (1983: 59-60) susunan pancasila adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramida. Kalau dilihat dari inti-intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya isi, tiap-tiap sila yang dibelakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urut-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud yang demikian, maka di antara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain, sehingga pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat. Andaikata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak, di antara satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut-pautnya, maka pancasila menjadi terpecah belah, oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sebagai suatu dasar kerohanian bagi Negara. Tiap-tiap sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila. Dalam susunan hierarkis dan piramida ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis daripada Kemanusiaan (perikemanusiaan), persatuan Indonesia (kebangsaan), kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkebangsaan), berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila lainnya.
Susunan dan urut-urutan sila-sila pada pancasila sebagaimana yang termasuk di dalam Pembukaan UUD 1945 menurut Effendy (1995: 106) merupakan susunan yang sudah tetap dan mempunyai arti tersendiri, sehingga tidak boleh diganti, diubah atau diputarbalikkan. Bukan hanya karena sifat, hakikat dan kedudukan dari Pembukaan UUD 1945 yang tidak boleh diubah, melainkan karena sifat, hakikat dan kedudukan tiap-tiap sila mengharuskan urutannya demikian. Susunan dari urutan dari sila-sila dalam Pancasila itu sudah merupakan suatu kesatuan yang bulat, yang didepan menjiwai yang ada di belakang serta mempunyai sifat yang hierarkis dan berbentuk pyramidal.
Kesatuan dan kebulatan itu dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang isinya paling luas, menjiwai dan meliputi sila kedua, ketiga, keempat dan kelima.
2. Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang isinya lebih sempit dan diliputi oleh sila pertama. Menjiwai dan meliputi sila ketiga, keempat dan kelima.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, yang isinya lebih sempit lagi, dijiwai dan diliputi oleh sila pertama dan kedua. Menjiwai dan meliputi sila keempat dan kelima.
4. Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang isinya lebih sempit lagi, dijiwai dan diliputi oleh sila pertama, kedua dan ketiga. Menjiwai dan meliputi sila kelima.
5. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang isinya paling sempit, dijiwai dan diliputi oleh sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Dalam susunan yang demikian, menurut Effendi (1995: 106-107) maka sila yang ada dibelakangnya merupakan pengkhususan dari sila yang ada di mukanya dan oleh karena itu pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila yang ada di mukanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa:
1. Sila kelima merupakan pengkhususan dari sila keempat dan pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila keempat.
2. Sila keempat merupakan pengkhususan dari sila ketiga dan pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila ketiga.
3. Sila ketiga merupakan pengkhususan dari sila kedua dan pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila kedua.
4. Sila kedua merupakan pengkhususan dari sila pertama dan pelaksanaannya tergantung pada pelaksanaan sila pertama.
Menurut pendapat Mulyadi (2006:3) bahwa untuk memahami perumusan pancasila secara murni dalam alinea terakhir pembukaan UUD 1945, hal tersebut harus dilihat dalam kerangka keseluruhan sistem (wholism) dalam keseluruhan Pembukaan UUD 1945, yang masing-masing terkait dan saling tergantung satu sama lain untuk menuju tujuan akhir yang dicita-citakan, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang beradasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Sila-sila pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan satu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.
No comments :
Post a Comment