Sebagai manusia, memiliki aib adalah sesuatu yang wajar. Menjadi tidak wajar jika kita tidak menjaga aib yang ada dan justru menggambarkan aib di hadapan khalayak.
Tidaklah perlu membicarakan aib diri sendiri di depan orang lain hanya karena ingin dikatakan orang yang jujur. Bukanlah kebaikan membanggakan aib di tempat umum, hanya karena tidak mau dikatakan munafik. Itu justru mengumbar kebodohannya karena tak tahu mana perbuatan yang patut dilakukan dan yang tak patut dilakukan. Diumbarnya ketidakpatutan ialah karena ia tak tahu bahwa itu tidak patut. Disangkanya itu adalah hal yang biasa. Padahal, didalamnya mengundang mudarat yang besar.
Aib adalah suatu cela atau kondisi yang tidak baik tentang seseorang jika diketahui oleh orang lain akan membuat rasa malu, rasa malu ini membawa kepada efek sikologi yang negatif jika tersebar.
Namun banyak kita dapati di tengah keseharian kita, pembicaraan dan obrolan itu sepertinya tidak asyik kalau tidak membicarakan aib, cacat dan kekurangan yang ada pada orang lain, padahal obrolan itu bukanlah perkara ringan dalam pandangan Islam.
Ajaran Islam melarang keras aib seseorang diceritakan, dan tidak boleh sekali-kali menyebarkan tentang apa atau bagaimana kondisi yang tidak baik tentang seseorang, bahkan islam mengajarkan untuk menutupinya. Allah berfirman dalam Surat Al Hujarat ayat 12 yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya: "Wahai orang yang beriman dengan lisannya, tetapi tidak beriman dengan hatinya. Janganlah kamu mengumpat kaum muslimin dan janganlah mengintip aib mereka, maka barang siapa yang mengintip aib saudaranya, niscaya Allah akan mengintip aibnya dan siapa yang diintip Allah akan aibnya, maka Allah akan membuka aibnya meskipun dirahasiakan di lubang kendaraannya." (HR. at-Tirmidzi)
KEUTAMAAN MENUTUPI AIB ORANG LAIN
1. Allah Akan Menutupi Aibnya Di Akhirat Kelak
Keutamaan pertama yang akan diperoleh orang yang senantiasa menutupi aib orang lain ialah Allah SWT akan menutupi aib orang tersebut di akhirat kelak. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW. Beliau bersabda:
“Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim)
2. Allah Juga Menutupi Aibnya di Dunia Ini
Tidak hanya mendapat keutamaan ketika di akhirat kelak. Ternyata keutamaan menutupi aib orang lain juga akan diperoleh ketika ia masih hidup di dunia.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang Siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aib orang tersebut di dunia dan akhirat.” (HR. Ibnu Majah)
3. Keutamaan Menutup Aib Saudara Seperti Menghidupkan Bayi yang Dikubur Hidup-Hidup
Keutamaan terakhir yang akan diperoleh orang yang senantiasa menutup aib orang lain ibarat ia menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup.
“Siapa melihat aurat (aib orang lain) lalu menutupinya, maka seakan-akan ia menghidupkan bayi yang dikubur hidup-hidup.” (HR. Abu Daud).
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam juga melarang seseorang untuk membuka aib dirinya sendiri kepada orang lain, sebagaimana sabdanya: "Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu –padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya." (HR. Bukhori Muslim)
AIB YANG ADA PADA SESEORANG ADA 2 YAITU :
1. Aib yang sifatnya khalqiyah, yaitu aib yang sifatnya qodrati dan bukan merupakan perbuatan maksiat. Seperti cacat di salah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain.
Aib seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau dibicarakan, baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan, karena perbuatan tersebut adalah dosa besar menurut mayoritas ulama, karena aib yang sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, maka menyebarkannya berarti menghina dan itu berarti menghina Penciptanya. (Imam al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin).
2. Aib berupa perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi juga terbagi menjadi dua:
1) Perbuatan maksiat yang hanya merusak hubungannya secara pribadi dengan Allah seperti minum khamr, berzina dll. Jika seorang muslim mendapati saudaranya melakukan perbuatan seperti ini hendaklah ia tidak menyebarluaskan hal tersebut, namun dia tetap memiliki kewajiban untuk melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang menasehati saudaranya dengan tetap menjaga kerahasiaannya berarti dia benar-benar menasehatinya dan memperbaikinya. Sedang yang menasehati tanpa menjaga kerahasiaannya, berarti telah mengekspos aibnya dan mengkhianatinya." (Syarh Shahih Muslim, Imam an Nawawi).
2) Perbuatan maksiat yang dilakukan sembunyi-sembunyi tapi merugikan orang lain seperti mencuri, korupsi dan lain sebagainya. Maka perbuatan seperti ini diperbolehkan untuk diselidiki dan diungkap, karena hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan, karena akan lebih banyak lagi merugikan orang lain.
“Sadarkanlah diri, aib yang ada bukanlah untuk diumbar, tapi untuk ditafakuri. Sudahlah cukup aib kita diketahui diri kita sendiri. Bila ingin mengadu, adukanlah kepada Allah. Simpanlah aib, perbaikilah cela. “
Sumber Bacaan :
Buku Nasihan Untuk Kita Oleh Farhan Abdul Majiid
ikadi.or.id
www.islampos.com
Sumber Gambar :
Hidayatullah.com
No comments :
Post a Comment