Amar makruf nahi mungkar adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah. Dalam ilmu fikih klasik, perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim. "Amar makruf nahi mungkar" telah dilembagakan di beberapa negara, contohnya adalah di Arab Saudi yang memiliki Komite Amar Makruf Nahi Mungkar (Haiʾat al-amr bi-l-maʿrūf wa-n-nahy ʿani-l-munkar). Di kekhalifahan-kekhalifahan sebelumnya, orang yang ditugaskan menjalankan perintah ini disebut muhtasib. Sementara itu, di Barat, orang-orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi mungkar disebut polisi syariah.
Dalil amar ma'ruf nahi munkar adalah pada surah Luqman, yang berbunyi sebagai berikut:
“ Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan laranglah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman 17)”
Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan sesuai kemampuan, yaitu dengan tangan (kekuasaan) jika dia adalah penguasa/punya jabatan, dengan lisan atau minimal membencinya dalam hati atas kemungkaran yang ada, dikatakan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman seorang mukmin.
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49).
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”
Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427)
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan.
2. Mengingkari dengan lisan.
3. Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata -setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya-, “Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
Salah seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata, “Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau menjawab:
“Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
Kita jumpai sebagian orang yang ragu-ragu melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan kemampuannya. Hal ini karena dia merasa bahwa dirinya belum sempurna, merasa bahwa masih banyak sunnah atau kewajiban yang belum dia tunaikan, dan juga merasa bahwa masih banyak perkara-perkara keburukan yang masih dia lakukan.
Dan juga khawatir kalau dia hanya bisa memerintahkan orang lain, namun melupakan dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah [2]: 44)
DALIL AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Secara taklif syar’i, Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka mewujudkan kemaslahatan untuk membangun peradaban Islam. Di sini memang para ulama berselisih pendapat, berdasarkan firman Allah ‘azza wajalla,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Kata dalam ayat di atas, sebagian ulama memaknai (menyatakan sebagian) sehingga menyimpulkan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Sebagian yang lain mengatakan itu (menyatakan penjelasan), sehingga menyimpulkan bahwa hukumnya fardhu ‘ain. Walaupun secara prakteknya hukum wajib tersebut bisa berubah, baik itu wajib kifayah, wajib ‘ain, atau menjadi sunnah atau bahkan menjadi haram.
Kenapa demikian? Karena para ulama, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, Imam al-Ghazali, asy-Syatibi dan yang lainnya menjelaskan bahwa Amar Ma’ruf Nahi Munkar ini senantiasa mempertimbangkan asas maslahat dan mudarat. Berikut beberapa keterangan ulama seputar hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar, kapan menjadi wajib ‘ain dan kapan menjadi haram;
MENINGGALKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR SEBAB KEHINAAN DAN KEHANCURAN
Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsy -semoga Allah meridhai beliau- suatu saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui beliau dalam keadaan takut dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
Laa Ilaaha Illallaah, kecelakaan bagi kaum Arab karena keburukan telah dekat, pada hari ini telah dibuka dari benteng Ya’juj dan Ma’juj seperti ini.” (dalam riwayat yang lain Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membentuk angka 10). Zainab binti Jahsy berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan binasa sementara di antara kami masih ada orang-orang yang shalih?’ Beliau menjawab, ‘Ya, apabila telah banyak perbuatan maksiat.'” (HR. Bukhari Muslim )
Ini menunjukkan bahwa ya’juj dan ma’juj itu ada dan mereka seperti apa yang dikabarkan dalam Al-Qur’an dan hadits bahwa mereka akan keluar dan membuat kerusakan. Dan Rasul yang mulia ‘Alaihish Shalatu was Salam bahwa mengabarkan keburukan sudah dekat.
Syaikh berkata, “Wahai umat Islam, apabila kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, maka laknat akan menimpa kita, kehinaan akan menimpa kita. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaitkan antara kehinaan dengan maksiat. Maksiat adalah pokok dari kehinaan dan kehancuran.”
Rasul kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dan yang lainnya:
“Apabila kalian melakukan jual beli dengan riba dan memegang ekor-ekor sapi, ridha dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpkan kehinaan kepada kalian. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut keinginan itu sehingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud)
MENEGAKKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR ADALAH AMAL UMAT ISLAM
Kehinaan selalu bersama maksiat. Dan kehinaan mana yang lebih besar yang kita sekarang berada padanya? Maksiat mendatangkan laknat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 78 sampai 79:
“Dilaknatlah orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa bin Maryam. Yang demikian itu karena perbuatan maksiat mereka dan mereka melampaui batas.”
Lalu Allah berfirman:
“Mereka tidak saling mencegah perbuatan kemungkaran yang mereka lakukan, alangkah buruk perbuatan yang mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah[5]: 79)
Oleh karena itu saudaraku, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah amal umat Islam. Dan walaupun kita adalah manusia-manusia yang kurang atau kita masih banyak melakukan kelalaian,kita harus tetap menegakan amar ma’ruf nahi munkar. Karena tidak ada orang yang sempurna.
KEWAJIBAN MENEGAKKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Syaikh Rahimahullah berkata bahwa wajib setiap kita -tentunya semampunya- untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Setiap kita sesuai dengan kemampuannya.
Ketika kita menjadi orang tua, perhatikan rumah kita. Jangan sampai masuk ke dalam rumah kita satu maksiat pun. Ini akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim[66]: 6)
Jangan biarkan masuk ke dalam rumah kita maksiat. Jangan biarkan keluarga kita berbuat maksiat. Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang diantara kalian melihat kemungkaran hendaknya dia rubah dengan tangannya, apabila tidak sanggup rubah dengan lisannya, apabila tidak sanggup rubah dengan hatinya. Dan itu merupakan keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim)
KEUNTUNGAN MENEGAKKAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
1. ALLAH AKAN MENOLONG KITA
Apabila kita memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar, Allah akan menolong kita dan Allah akan jadikan kita kokoh di atas muka bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah pasti menolong orang yang menolongnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Apabila orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan akibat perkara yang baik adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Hajj[22]: 40-41)
Jadi apabila kita beramar ma’ruf nahi munkar, maka akan tersebarlah kebaikan di tengah-tengah manusia. Setiap kita kalau melakukan ini tersebar kebaikan di tengah-tengah manusia, maksiat jadi sedikit. Kalau sudah sedikit berarti kita sudah menolong agama Allah dan Allah menolong kita.
2. ALLAH AKAN ANGKAT ADZAB
Allah akan angkat adzab dari orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Di dalam surat Al-A’raf ayat ke 165 Allah berfirman:
“Maka ketika mereka lupa dari peringatan, maka kami selamatkan orang-orang yang melarang perbuatan buruk.” (QS. Al-A’raf[7]: 165)
Ini adalah dikalangan Bani Israil. Dimana pada kalangan Bani Israil ada tiga jenis kelompok manusia. Ada kelompok besar. Mereka melakukan kemungkaran berupa memasang jaring dihari jum’at. Hal ini karena pada hari sabtu mereka tidak boleh mencari ikan. Padahal justru dihari sabtu itu ikan sedang banyak-banyaknya. Ini ujian. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mencari ikan dihari sabtu, namun mereka mengambil ikannya dihari ahad.
Mereka pintar, tapi kepintarannya digunakan untuk maksiat yang mendatangkan murka Allah. Maka turunlah adzab Allah. Allah merubah mereka menjadi kera kemudian meninggal semua.
Dari sini ada pelajaran bagaimana bahayanya al hilah Yaitu mencari-cari bagaimana yang haram menjadi halal. Riba menjadi bukan riba.
Dari sini kita juga belajar bahwa kita harus takut kalau hidup kita dimudahkan oleh Allah, kaya, segala urusan mudah, tapi dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Karena suatu saat pasti akan Allah binasakan. Namanya istidraj.
3. MENJADI SEBAIK-BAIK UMAT
Kita akan menjadi sebaik-baik umat yang dikeluarkan di atas muka bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia, kalian memerintahkan perbuatan baik dan mencegah manusia dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran[3]: 110)
4. ALLAH MENURUNKAN RAHMATNYA
Buah manis dari amar ma’ruf nahi munkar adalah Allah menurunkan rahmatNya kepada kita di dunia dan di akhirat. Di dunia Allah turunkan rahmatNya kepada kita semua. Didalam surat At-Taubah ayat 71 Allah berfirman:
“Orang-orang yang beriman laki-laki dan wanita sebagian mereka wali dari sebagian yang lain, sifat mereka beramar ma’ruf nahi munkar, menegakkan shalat, membayar zakat dan taat kepada Allah serta RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang Allah akan memberi rahmat Allah.” (QS. At-Taubah[9]: 71)
Wallahu’alam
Sumber Bacaan :
id.wikipedia.org
muslim.or.id
www.radiorodja.com
www.dakwah.id
Sumber Gambar :
hisbah.net
No comments :
Post a Comment